Sinar mentari mulai menyelinap dari tirai jendela menandakan sang fajar mulai meninggi, Ara mencoba membuka matanya berusaha untuk kembali pada kenyataan setelah semalaman berpetualang didunia mimpi, gadis bandung yang bernama lengkap Tiara Azkia ini bangun dari tempat tidurnya dan melihat ke jendela.
“Jogja selalu istimewa” ucapnya dalam hati sembari tersenyum ke arah sang mentari.
Terlihat jam menunjukan hampir pukul enam tepat. Ara harus bergegas karna porter untuk pendakiannya kali ini akan menjumputnya pukul enam. Walaupun seorang wanita Ara adalah seorang yang aktif di kegiatan pendakian, ini bukan kali pertama ia ke merbabu, ini bukanlah kali pertama ia melakukan pendakian seorang diri, yang ada dikepalanya mendaki adalah untuk menenangkan diri, dan sendiri adalah kebebasan paling mutlak.
Setelah mandi dan menyantap sarapan yang disediakan pihak penginapan Ara bergegas keluar karna porter yang akan mengantarnya telah tiba.
Ara mengambil ponsel disakunya guna menelpon sang porter, tak berselang lama terdengar suara dari ujung telpon mengucapkan salam.
“Mas dimana ya? Saya didepan penginapan.” Ucap Ara menjelaskan lokasinya.
“Saya disamping mba-nya” sembari tersenyum pria paruh baya itu menyapa Ara untuk kedua kalinya.
Ara mematikan ponselnya dengan agak tersipu malu.
“Ayo mba, mari saya bantu” dengan sigap pria itu membawakan tas gunung Ara yang terhitung cukup berat.
“Mba Tiara beneran sendiri mendakinya nih?” Tanya sang porter yang masih tak habis pikir bahwa seorang wanita akan melakukan pendakian seorang diri.
“Iya pak, ini udah kesekian kali
ko’ ke merbabu” jelas Ara untuk meyakinkan sang porter.
Ara melangkah menaiki mobil jemputannya, sepanjang perjalalan dia berbincang banyak dengan pria paruh baya yang diketahuinya bernama Pak Rahman. Sepanjang jalan Ara banyak menanyakan tentang jogja, makanan, budaya dan tradisi disini, sekedar untuk menambah pengetahuannya tentang kota lain selain Bandung dan Jakarta yang sudah ia hafal disetiap sudutnya.
Tak terasa satu jam perjalanan telah dilalui hingga mereka tiba dirumah Pak Rahman di desa Boyolali desa pintu masuk pendakian Ara via Selo, tampak gunung merbabu diarah barat menjulang tinggi dan diseberangnya gunung merapi berdiri dengan gagah.
Rumah Pak Rahman memang tak terlalu besar apalagi mewah benar-benar khas rumah pedesaan, namun disana adalah tempat biasa para pendaki yang di antar-jemput Pak Rahman beritirahat. Pak Rahman tinggal bersama istrinya, anak perempuan satu-satunya kuliah di jogja, itu terlihat dari foto-foto yang terpajang dirumah Pak Rahman.
Setelah beristirahat sebentar Ara diantar oleh Pak Rahman ke basecamp pendakian gunung merbabu via Selo menggunakan mobil, jarak dari rumah Pak Rahman ke basecamp tidak sampai 15 menit.
“Terima kasih ya pak.”ucap Ara setelah turun dari mobil dan menggendong tasnya.
“Mba Tiara hati-hati ya, jangan memaksakan diri sama jangan takut buat minta bantu sama pendaki lain, besok sekitar jam 3 saya jemput lagi disini.” Pak Rahman memberi nasihat layaknya orang tua kepada anaknya sendiri.
Ara cukup senang mendapat nasihat dari Pak Rahman, Ara pun sadar bahwa memang masih banyak orang baik di dunia ini.
“Ia pak terima kasih nasihatnya, besok saya jam 3 sudah sampai basecamp”
Mobil perlahan menjauh hingga hilang dari pandangan Ara. Ia bergegas menuju basecamp yang disana telah ada seorang penjaga basecamp. Setelah membayar administrasi dan dijelaskan mengenai aturan dan larangan gunung merbabu, Ara adalah pendaki pertama hari ini, dengan sambil berdoa Ara mulai melangkah memasuki hutan.
Awal pendakian jalur yang dilalui masih landai, jalan setapak yang dikiri-kanannya terdapat pepohonan cukup menenangkan hati Ara, sepanjang jalan Ara merasa bahagia menikmati pemandangan alam dan suara angin yang meniup pepohonan benar-benar menenangkan jiwa.
Lebih dari satu jam Ara berjalan akhirnya dia tiba di pos pertama, disana Ara mulai beristirahat dan duduk sejenak, dia mengambil botol minum yang telah ia siap kan untuk sepanjang perjalanan, rasa dahaganya terbayar setelah kesegaran air mulai membasahi tenggorokan Ara, tak jauh dari tempat Ara duduk dia melihat seorang pria yang sedang beristirahat sendirian, mungkin ia tertinggal dari rombongannya pikir Ara.
Beristirahat selama 15 menit membuat tenaga Ara kembali pulih, otot yang menegang seolah kembali seperti semula. Ara mulai kembali berjalan mendekati pria itu, matanya sibuk memerhatikan pria yang sedang duduk disana, dengan celana pendek menggunakan kaos berwarna merah kulitnya putih tak seperti pendaki pria yang Ara kenal kebanyakan, rambutnya terlihat gondrong dan berantakan. Ketika Ara berpapasan dengannya dan saling bertukar pandang mereka saling menyapa seperti ritual wajib yang dilalukan oleh para pendaki.
Pria itu terus memandangi punggung Ara hingga wanita itu menghilang dibalik bukit, Ara benar-benar telah mencuri seluruh perhatiannya. Dia berdiri dan bersiap menggendong tasnya, berjalan dengan perlahan dengan beban yang ada dipunggungnya.
Ara tiba di pos 2 disana terdapat tanah yang cukup lapang, kabut mulai turun disana, jarak pandang mulai menyempit pemandangan bukit yang sedari tadi dinikmati Ara mulai menghilang tertutup kabut. Namun disebelah kiri Ara terbapat padang edelweis yang membuatnya tersenyum, bunga yang sering digambarkan sebagai lambang cinta abadi itu tengah bermekaran, mengingatkan Ara tentang cerita lama dirinya dengan seorang pria yang mengenalkan Ara pada gunung dan keindahan lainnya yang sayangnya hanya ada di masa lalu.
Setelah melewati tikungan ke kenan Ara sampai di pos 3 disana sama seperti pos lain yang Ara lewati tak ada seorang pun disana, dimusim seperti ini memang tak banyak orang yang melakukan pendakian, Ara meletakkan tas nya ditanah bersiap untuk beristirahat melepas dahaga dan mengambil napas sejenak, targetnya adalah sabana 2 yang masih sekitar 2 jam lagi dari tempatnya saat ini. Duduk dan minum sambil sejenak menikmati ketenangan yang tak ia dapatkan dikota, dari tikungan yang Ara lalui terdengan suara langkah kaki, matanya sibuk bertanya siapa yang akan muncul, ternyata pendaki pria yang Ara temui di pos satu tadi, mereka kembali bersapa dengan senyuman, dan tak disangka dia mendekati Ara.
“Naik sendiri?” Tanya pria itu sambil meletakan tasnya ditanah yang sedikit membuat Ara terkejut.
“Ia, mas-nya juga naik sendiri?” Ara balik bertanya sekedar basa-basi pikirnya.
“Iya” jawab pria itu singkat.
“Aku boleh duduk disini?” Pria itu kembali bertanya kepada Ara
“Boleh
ko’ duduk aja, gunung bukan punyaku” Ara sedikit bergeser sembari mengoda pria itu dengan lirikan dan senyuman tipisnya.
Melihat lirikan dan senyuman Ara membuat pria itu mematung sejenak, waktunya seolah dipaksa berhenti karna melihatnya.Setelah berhasil kembali pada realita dia mulai duduk disana, tepat disebelah Ara. Mendadak keadaan mulai canggung, entah hanya perasaannya saja atau Ara juga berpikir begitu.
“Segara”
“
Hah?”
“Aku Segara, panggil aja gara” Dia mulai mengenalkan dirinya, namun Ara justru tampak bingung ketika mendengarnya.
“Kaya temennya Naruto!?” Kalimat itu keluar begitu saja dengan polosnya dari mulut Ara, mungkin itu yang membuatnya tampak bingung ketika pria itu menyebutkan namanya.
“Oh ia, aku Tiara tapi biasa temen-temen panggil aku Ara” Ara pun dengan segera memperkenalkan diri guna menutupi apa yang ia katakan sebelumnya.
Setelah perkenalan itu perbincangan mereka mulai semakin menarik sesekali mereka tertawa mendengan cerita satu sama lain, mulai dari bercerita tentang pengalaman-pengalaman mendaki mereka selama ini hingga bercerita tentang percintaan mereka. Tak terasa sudah lebih dari satu jam mereka disana, mereka sadar bahwa mereka tak boleh berlama-lama karna perjalanan mereka masih cukup jauh.
“Lanjut yuk?” Ara mulai berdiri dan menggendong tasnya.
Gara hanya mengangguk mendengar ajakan Ara. Kini mereka menjadi teman seperjalanan.
Sebelum sampai di sabana satu mereka harus berjalan mendaki dengan kemiringan sekitar 40 derajat, namun itu tak membuat mental mereka lemah, semangat yang berapi-api untuk sampai ke puncak masih membara dihati mereka.
Setibanya di sabana satu mereka mulai lega, mereka tahu bahwa hanya tinggal satu bukit lagi hingga mereka tiba di sabana dua tempat mereka akan mendirikan tenda. Mereka langsung melewati sabana satu tanpa beristirahat, beban yang terasa semakin berat tak mereka hiraukan, kaki yang mulai pegal tak mereka pikirkan, mereka hanya ingin berhenti dititik dimana mereka dapat beristirahat dan bersiap menggapai puncak.
Sabana 2 tempat terakhir para pendaki merbabu mendirikan tenda, tanah yang lapang dan tak terlalu jauh untuk sampai ke puncak menjadikannya tempat yang strategis untuk beristirahat sebelum pagi hari melanjutkan perjalanan menuju puncak. Setelah mencari tempat yang tepat untuk mendirikan tenda, mereka mulai membongkar isi tas masing-masing.
“Mau bikin satu tenda aja, atau masing-masing?” sembari mengeluar tenda yang terletak dibagian paling bawah tasnya, Ara bertanya pada Gara, karna tenda yang Ara bawa terhitung lebih dari cukup untuk mereka berdua.
“Gapapa satu tenda aja?” Gara coba bertanya apakah Ara tidak khawatir satu tenda bersama seorang pria yang bahkan baru dikenalnya beberapa jam yang lalu.
“Kalau pun kita gak bisa serumah, setidaknya kita pernah setenda” Ara kembali menggoda pria itu, membuat keduanya tersenyum.
Setelah mendirikan tenda, mereka mulai menyiapkan makan malam, seperti biasa laki-laki selalu lebih sigap untuk memasak digunung. Ara pun sedikit bingung mengapa laki-laki selalu lebih bisa diandalkan ketika memasak digunung, walau dalam kehidupan sehari-hari nilai memasaknya nol besar.
Ara memandangi Gara yang sedang memasak dari dalam tenda, dia tersenyum melihat bagaimana pria itu memasak, menggemaskaan pikir Ara, Gara hanya fokus memasak karna posisinya membelakangi Ara. Teh hangat yang dibuatkan Gara sudah tak lagi hangat menandakan suhu diluar sudah cukup dingin, Ara pun telah mengenakan jaket dan sarung tangan untuk menahan hawa dingin yang sesekali menyelinap dari bawah pintu tenda.
Makanan akhirnya siap, Ara mulai menyantap makanan yang telah disiapkan Gara, semuanya terasa spesial dan juga menggugah selera.
“Masaknya pake cinta gak?” Ara Kembali menggoda Gara.
“Emang mateng masak pake cinta?” Gara membalasnya yang diiringi tawa mereka berdua.
Tanpa berlama-lama Ara menyiapkan alat makannya, dengan sigap dia mengambil nasi yang masih hangat itu tak lupa telur dadar serta tahu dan tempe goreng, sayur sop juga tak luput dilahapnya. Sederhana memang namun semuanya terasa nikmat bagi Ara, Gara tersenyum puas melihat Ara menyantap makanan buatannya, dia merasa sangat bahagia ternyata Ara menyukai makanan yang dimasaknya. Menuju malam para pendaki mulai berdatangan, walau tenda mereka tertutup rapat mereka masih mendengar suara langkah kaki yang dihiasi cahaya senter karna keadaan diluar sudah cukup gelap.
Setelah membersihkan alat masak mereka brsiap untuk tidur,rasa lapar telah terobati, hanya menyisakan rasa lelah yang masih menggelayuti menandakan tubuh mereka harus segera diistirahati.
“Summit, summit”
Terdengar suara teriakan dari luar tenda, Ara mencoba membuka matanya dan yang dilihatnya pertama kali adalah Gara yang tengah duduk menghadap pintu tenda, benar saja pria itu tengah memasak roti panggang untuk sedikit mengisi perut sebelum pendakian ke puncak, tak lupa juga teh hangat telah disiapkan untuk Ara, benar-benar pria yang pengertian pikir Ara. Pada titk ini dia benar-benar terpukau pada pria itu.
Senter sudah ditangan, setelah selesai menggunakan sepatu Ara mulai merapatkan jaketnya dan bersiap bersiap menembus hawa dingin di jam 3 dini hari, targetnya adalah golden sunrise dipuncak merbabu. Ditengah pejalanan garis kemerahan telah muncul diujung timur, bersamaan pula dengan siluet gunung lawu dikejauhan. Indah, hanya satu kata itu yang muncul dalam hati Ara, dalam hatinya ia mengerti bahwa mendaki sama seperti perjalanan hidup, Ketika kau ingin meraih suatu hal maka diperluan banyak perjuangan, pengorbanan, letih, hingga terkadang luka, namun ketika kau telah meraihnya semua akan terbayarkan dengan hasilnya, ketika kau sampai ditas mengetilah bahwa masih ada yang lebih tinggi, mengertilah untuk tetap memandang kebawah hingga kau turun dengan perasaan puas dan bahagia.
Puncak Kenteng Songo dengan ketinggian 3142mdpl, puncak yang berdiri diatara Puncak Syarif dan Puncak Trianggulasi, disana merupakan puncak yang paling banyak diminati pendaki yang datang ke merbabu. Ara akhirnya tiba disana bersama Gara dan puluhan pendaki lain yang sedang sibuk bersua foto, dia masih sibuk menikmati keindahan merbabu dari sana sambil memejamkan mata. Setelah beberapa saat akhirnya ia membuka matanya kebagiaan yang teramat sangat memenuhi perasaan Ara, gadis itu pun tak ketinggalan bersua foto untuk mengabadikan momen itu.
Setelah cukup bersua foto Ara baru mengigat sesuatu, dia tak melihat Gara sejak tadi, matanya mencari Gara diantara pendaki yang ada disana, namun Gara benar-benar luput dari penglihatannya. Setelah tak menemukan Gara dipuncak ia berlari segera turun ke tenda, pikirnya masih cukup rasional bahwa Gara turun lebih dulu untuk menyiapkan makanan untuknya, namun setelah sampai tenda dia tak melihat siapapun, Gara tak ada disana, bukan hanya Gara bahkan perlengkapan yang dibawa pria itu pun sudah tak ada. Tanpa menyiapkan sarapan Ara bergegas membereskan barang-barangnya dan bersiap menyusul Gara yang munkin telah turun lebih dulu.
Kini semua perkengkapan Ara sudah ada didalam tasnya tak lupa juga sampah yang ada selama pendakiannya dibawanya turun, Ara langsung bergegas mengejar Gara, seperti biasa waktu turun tak menghabiskan waktu yang lama seperti mendaki, ia berharap dapat mengejar Gara yang mungkin belum terlalu jauh.
Dari punggungan bukit Ara mencari Gara, pandangannya memerhatikan setiap jalur pendakian berharap melihatnya dari atas sana namun gagal, Keindahan sabana satu pun luput dari perhatiannya, baginya kini tak ada yang lebih penting dari Gara. Ara terus berlari hingga pos 3 namun ia tetap tak melihat Gara, napasnya mulai terengah-engah, dia berhenti sejenak untuk mengatur napas dan mulai berlari lagi, pos 2 lalu kemudian pos 1 ia tetap tak menemukannya hingga akhirnya ia tiba lagi di basecamp, hasilnya tetap sama ia tak menemukan Gara dimanapun.
Ara menuju pos penjaga basecamp untuk menanyakan adakah pendaki pria yang baru saja turun, disana adalah tempat yang wajib didatangi setelah melakukan pendakian untuk melaporkan bahwa pendakian telah selesai.
“Mas tadi ada pendaki yang udah turun belum ya?” Ara bertanya pada penjaga basecamp.
“Belum mba, mba namanya siapa ya? Biar didata dulu” Jawab pria itu sembari mengeluarkan buku yang berisi data para pendaki merbabu via Selo.
“Saya Tiara pak” Ara berpikir bahwa Gara mungkin belum sampai basecamp, namun ia tak melihatnya disepanjang perjalanan turun.
“Oh mba Tiara yang kemarin naik sendiri ya?” Penjaga itu bertanya lagi untuk memastikan agar tak salah orang.
“Iya pak” Jelas Ara singkat.
“Tadi mba mencari siapa kalau boleh tau namanya?” Pria itu kembali bertanya untuk menanggapi pertanyaan Ara pertama kali.
“Gara pak, namanya Segara, dia pakai celana pendek dan kaos merah” Ara coba menjelaskan ciri-ciri Gara secara singkat.
“Kalau yang namanya Segara gak ada datanya mba sejak kemarin, tapi dari ciri-ciri yang mba billang tadi mungkin mba bisa lihat ini” Bapak penjaga basecamp itu mengeluarkan buku lain dimejanya dan memperlihatkan sebuah foto, dan Ara yakin itu adalah Segara.
Setelah melihat foto itu, betapa terkejutnya Ara melihat tulisan yang ada diatas foto Gara.
“DAFTAR PENDAKI HILANG GUNUNG MERBABU”
Air matanya mulai mengalir, kakinya lemas bahkan hingga membuat Ara terduduk disana.
Melihat Ara yang sesenggukan menangis, penjaga basecamp itu pun menjelaskan bahwa jika benar pendaki itu yang ditemui Ara, maka pendaki itu telah hilang setahun yang lalu, bahkan hingga kini jasadnya tak ditemukan dan keluarga korban pun telah meng-ikhlaskan.
Mendengar hal itu tangis Ara semakin pecah, wanita itu mencoba mencerna semua yang terjadi, tentang Gara, tentang pria yang pada akhirnya berhasil mencuri perhatiannya, tentang pria yang menghiasi perjalanannya, tentang pria yang sebenarnya tak nyata.
Setelah puas menangis dan terasa tak mampu lagi mengeluarkan air matanya, Ara menelpon Pak Rahman untuk segera dijemput dibasecamp, dengan sigap pria itu langsung melajukan mobilnya menuju basecamp. Tak berselang lama mobil Pak Rahman pun tiba, Ara dengan sisa tenaga yang dimilikinya naik ke mobil dengan perasaan hampa.
“Gimana pendakiannya mba?” Pak Rahman coba memecah keheningan diantara mereka.
“Membahagiakan pak, juga membingungkan. Tapi suatu hari saya pasti kesini lagi” Ara mengatakannya dengan senyuman tipis dan mata yang tampak kosong.
“Untuk Segara”
Terima kasih untuk waktu singkatmu, terima kasih telah mau menjadi teman perjalananku, terima kasih juga untuk semua perlakuanmu terhadapku, aku bahagia karna pernah tahu tentang dirimu. Tenanglah kamu disana, tenanglah kamu dalam tidur panjangmu, aku takkan pernah melupakanmu. Segara Permana
-Tiara Azkia